RadarURL IK HEB EEN ELEGANTER FORMULERING VOOR DE RESOLUTIE! ~ BEM REMA UPI KAMPUS TASIKMALAYA

Selasa, 02 Oktober 2012

IK HEB EEN ELEGANTER FORMULERING VOOR DE RESOLUTIE!



IK HEB EEN ELEGANTER FORMULERING VOOR DE RESOLUTIE!
Muhammad Rijal Wahid Muharram


            Di gedung Indonesische Clubgebouw, goresan tinta seorang manusia muda yang ditumpahkan di atas secarik kertas tidak bersangka akan menjadi sebuah sejarah yang akan dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia. Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie”, sebuah kalimat yang menggambarkan sikap optimis pemuda dibisikkan oleh Moehammad Yamin yang disodorkan kepada seorang muda dari Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), Soegondo Djojopoespito ketika Mr. Soenario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Kalimat dalam bahasa belanda yang berarti ”Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan
untuk keputusan kongres ini” menjadi pengantar yang menuntun persetujuan dari seluruh peserta kongres yang ditandai dengan bubuhan paraf dalam secarik kertas itu. Awalnya, tulisan dalam secarik kertas yang kelak dikenal dengan “Teks Sumpah Pemuda” tersebut dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang lebar oleh Moehammad Yamin. Kongres tersebut berakhir dengan sorak sorai dari seluruh pemuda yang hadir. Sebuah semangat pembaharuan hadir mempersatukan impian-impian para pemuda untuk menyambut dekade baru dalam perjuangan menjemput kemerdekaan Indonesia.
            Delapan empat tahun berlalu sejak saat itu. Masyarakat Indonesia kembali bertemu dengan bulan oktober yang sepertinya bulan ini sangat rindu akan semangat-semangat yang hadir dalam diri pemuda. Semangat nasionalisme didengungkan dengan bahasa, “Hidup Indonesia ! NKRI Harga MATI !” dan bahasa lain yang menunjukkan jati diri pemuda dirindukan oleh kalangan-kalangan yang memang menaruh banyak harapan terhadapnya. Harapan itu selalu hadir meski memang hal itu selalu berada di atas kenyataan. Kenyataan-kenyataan yang terkadang menularkan penyakit pesimisme di kalangan masyarakat. Penyakit yang selalu melahirkan sikap sinisme yang menjadi penghalang akan kemajuan suatu negara.
            Apakah Indonesia masih menyimpan harapan tehadap para Pemuda ? Setidaknya untuk melihat aplikasi dari Soempah Pemoeda yang menjadi titik kulminasi perjuangan bangsa ketika itu? Sebelum menjawab hal tersebut, marilah kita renungkan terlebih dahulu bagaimana keadaan “sebagian kecil” pemuda saat ini.
            Perlu diketahui bersama bahwa Indonesia menghadapi zaman yang baru saat ini. Meminjam penjelasan Goleman:
Inilah zaman ketika keluarga mendapat tekanan ekonomi, sehingga kedua orangtua harus menjalani jam-jam kerja yang panjang, meninggalkan anak di rumah dengan mainan atau “asuhan” televisi. Inilah zaman ketika lebih banyak anak tumbuh dewasa dalam kemiskinan, zaman ketika keluarga dengan orangtua tunggal menjadi semakin lazim, dan zaman ketika lebih banyak bayi dan anak yang sangat buruk pengelolaannya sehingga sama saja dengan penyia-siaan anak.1
Keadaan seperti itu berimplikasi kepada perkembangan generasi muda saat ini dimana kelak mereka akan menyandang status sebagai pemuda yang tentunya ‘harus’ menjadi pemegang obor api selanjutnya dalam estafeta perjuangan Indonesia. Tawuran diucapkan menjadi tradisi, mengkonsumsi narkoba dianggap menjadi makanan sehari-hari ‘penambah’ motivasi, dan kejahatan dilakukan sebagai mata pencaharian untuk memperlihatkan eksistensi. Bila delapan puluh empat tahun yang lalu secarik kertas itu bergoreskan sebuah komitmen yang berujung pada perubahan, saat ini secarik kertas itu bergoreskan jawaban-jawaban atas soal-soal yang diujikan untuk menuntut seseorang meningkat dalam kecerdasan rasio saja.
            Globalisasi menjadi sebuah tantangan pula saat ini. Arus informasi berjalan sangat cepat dan pesat. Jarak bukan menjadi penghalang. Beberapa tombol dengan simbol-simbol di di depan layar kecil menjadi pengganti kendaraan untuk dapat mengetahui keadaan di tempat yang lain. Budaya-budaya luar dieluk-elukan dan menjadi kebanggaan tersendiri bilamana seseorang itu dapat menirunya. Bahasa sehari-hari kini menjadi bercampur dan seperti seolah kehilangan induknya. Bahasa Indonesia menjadi ‘bahasa asing’ yang hanya dipelajari dalam beberapa mata pelajaran di sekolah-sekolah.
            Setidaknya itu adalah sebagian kecil kondisi pemuda di dalam Indonesia ke-kini-an dan ke-sini-an. Saya katakan sebagian kecil karena saya masih percaya dan optimis bahwa sebagian besar pemuda masih dapat merasakan semangat yang tumbuh secara alami dalam jati diri pemuda. Meski Indonesia memiliki banyak masalah yang melanda baik dalam segi ekonomi, politik, maupun dimensi yang lain, rasio kesadaran pemuda terhadap keadaan Indonesia akan terus meningkat.
            Pemuda adalah harapan bangsa dimana ia identik dengan perubahan. Sudah umum kita mengenal apa yang dikatakan Ir. Soekarno, “Berikan aku SEPULUH PEMUDA, maka akan aku UBAH DUNIA”. Kepercayaan terhadap pemuda sangatlah tinggi dan tidak bisa dipisahkan dari kesuksesan suatu negara. “Semangat kaum muda dan kebijaksanaan kaum tua adalah dua hal yang yang menjadi titik tolak kesuksesan”.
            Peringatan Soempah Pemoeda harus dijadikan momentum untuk kebangkitan dan merenungkan semangat pemuda delapan puluh empat tahun yang lalu. Bisa saja, status pemuda bagi seseorang itu lambat laun hilang ditelan oleh usia, namun semangat yang tumbuh dalam diri pemuda tidak akan pernah hilang. Indonesia butuh sosok saat ini. Sosok pemuda yang dapat mengantarkan idenya untuk membawa Indonesia kembali ‘merdeka’ dan mempunyai semangat optimis untuk menggemakan,”IK HEB EEN ELEGANTER FORMULERING VOOR DE RESOLUTIE!!”
Catatan Akhir
1Daniel Goleman, Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional): Mengapa EI lebih penting daripada IQ (selanjutnya dirujuk sebagai Emotional Intelligence), Jakarta: Gramedia, 1999, h.331-332 dalam Muhammad Wahyuni Lubis, 9 Jalan Cerdas Emosi dan Cerdas Spiritual, Jakarta: Hikmah 2006.

0 komentar:

Posting Komentar