IK
HEB EEN ELEGANTER FORMULERING VOOR DE RESOLUTIE!
Muhammad Rijal Wahid
Muharram
Di gedung Indonesische Clubgebouw,
goresan tinta seorang manusia muda yang ditumpahkan di atas secarik kertas
tidak bersangka akan menjadi sebuah sejarah yang akan dikenang oleh seluruh
rakyat Indonesia. “Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie”, sebuah
kalimat yang menggambarkan sikap optimis pemuda dibisikkan oleh Moehammad Yamin
yang disodorkan kepada seorang muda dari Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia
(PPPI), Soegondo Djojopoespito ketika Mr. Soenario tengah berpidato pada sesi
terakhir kongres. Kalimat dalam bahasa belanda yang berarti ”Saya
mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan
untuk keputusan kongres ini” menjadi pengantar yang menuntun persetujuan dari seluruh peserta kongres yang ditandai dengan bubuhan paraf dalam secarik kertas itu. Awalnya, tulisan dalam secarik kertas yang kelak dikenal dengan “Teks Sumpah Pemuda” tersebut dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang lebar oleh Moehammad Yamin. Kongres tersebut berakhir dengan sorak sorai dari seluruh pemuda yang hadir. Sebuah semangat pembaharuan hadir mempersatukan impian-impian para pemuda untuk menyambut dekade baru dalam perjuangan menjemput kemerdekaan Indonesia.
untuk keputusan kongres ini” menjadi pengantar yang menuntun persetujuan dari seluruh peserta kongres yang ditandai dengan bubuhan paraf dalam secarik kertas itu. Awalnya, tulisan dalam secarik kertas yang kelak dikenal dengan “Teks Sumpah Pemuda” tersebut dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang lebar oleh Moehammad Yamin. Kongres tersebut berakhir dengan sorak sorai dari seluruh pemuda yang hadir. Sebuah semangat pembaharuan hadir mempersatukan impian-impian para pemuda untuk menyambut dekade baru dalam perjuangan menjemput kemerdekaan Indonesia.
Delapan empat tahun berlalu sejak
saat itu. Masyarakat Indonesia kembali bertemu dengan bulan oktober yang
sepertinya bulan ini sangat rindu akan semangat-semangat yang hadir dalam diri
pemuda. Semangat nasionalisme didengungkan dengan bahasa, “Hidup Indonesia !
NKRI Harga MATI !” dan bahasa lain yang menunjukkan jati diri pemuda dirindukan
oleh kalangan-kalangan yang memang menaruh banyak harapan terhadapnya. Harapan
itu selalu hadir meski memang hal itu selalu berada di atas kenyataan.
Kenyataan-kenyataan yang terkadang menularkan penyakit pesimisme di kalangan
masyarakat. Penyakit yang selalu melahirkan sikap sinisme yang menjadi
penghalang akan kemajuan suatu negara.
Apakah Indonesia masih menyimpan
harapan tehadap para Pemuda ? Setidaknya untuk melihat aplikasi dari Soempah
Pemoeda yang menjadi titik kulminasi perjuangan bangsa ketika itu? Sebelum
menjawab hal tersebut, marilah kita renungkan terlebih dahulu bagaimana keadaan
“sebagian kecil” pemuda saat ini.
Perlu diketahui bersama bahwa Indonesia
menghadapi zaman yang baru saat ini. Meminjam penjelasan Goleman:
Inilah
zaman ketika keluarga mendapat tekanan ekonomi, sehingga kedua orangtua harus
menjalani jam-jam kerja yang panjang, meninggalkan anak di rumah dengan mainan
atau “asuhan” televisi. Inilah zaman ketika lebih banyak anak tumbuh dewasa
dalam kemiskinan, zaman ketika keluarga dengan orangtua tunggal menjadi semakin
lazim, dan zaman ketika lebih banyak bayi dan anak yang sangat buruk
pengelolaannya sehingga sama saja dengan penyia-siaan anak.1
Keadaan
seperti itu berimplikasi kepada perkembangan generasi muda saat ini dimana
kelak mereka akan menyandang status sebagai pemuda yang tentunya ‘harus’
menjadi pemegang obor api selanjutnya dalam estafeta perjuangan Indonesia.
Tawuran diucapkan menjadi tradisi, mengkonsumsi narkoba dianggap menjadi
makanan sehari-hari ‘penambah’ motivasi, dan kejahatan dilakukan sebagai mata
pencaharian untuk memperlihatkan eksistensi. Bila delapan puluh empat tahun
yang lalu secarik kertas itu bergoreskan sebuah komitmen yang berujung pada
perubahan, saat ini secarik kertas itu bergoreskan jawaban-jawaban atas soal-soal
yang diujikan untuk menuntut seseorang meningkat dalam kecerdasan rasio saja.
Globalisasi menjadi sebuah tantangan
pula saat ini. Arus informasi berjalan sangat cepat dan pesat. Jarak bukan
menjadi penghalang. Beberapa tombol dengan simbol-simbol di di depan layar
kecil menjadi pengganti kendaraan untuk dapat mengetahui keadaan di tempat yang
lain. Budaya-budaya luar dieluk-elukan dan menjadi kebanggaan tersendiri
bilamana seseorang itu dapat menirunya. Bahasa sehari-hari kini menjadi
bercampur dan seperti seolah kehilangan induknya. Bahasa Indonesia menjadi ‘bahasa asing’ yang hanya dipelajari
dalam beberapa mata pelajaran di sekolah-sekolah.
Setidaknya itu adalah sebagian kecil
kondisi pemuda di dalam Indonesia ke-kini-an
dan ke-sini-an. Saya katakan sebagian
kecil karena saya masih percaya dan optimis bahwa sebagian besar pemuda masih
dapat merasakan semangat yang tumbuh secara alami dalam jati diri pemuda. Meski
Indonesia memiliki banyak masalah yang melanda baik dalam segi ekonomi, politik,
maupun dimensi yang lain, rasio kesadaran pemuda terhadap keadaan Indonesia akan
terus meningkat.
Pemuda adalah harapan bangsa dimana
ia identik dengan perubahan. Sudah umum kita mengenal apa yang dikatakan Ir.
Soekarno, “Berikan aku SEPULUH PEMUDA, maka akan aku UBAH DUNIA”. Kepercayaan
terhadap pemuda sangatlah tinggi dan tidak bisa dipisahkan dari kesuksesan
suatu negara. “Semangat kaum muda dan kebijaksanaan kaum tua adalah dua hal
yang yang menjadi titik tolak kesuksesan”.
Peringatan Soempah Pemoeda harus
dijadikan momentum untuk kebangkitan dan merenungkan semangat pemuda delapan
puluh empat tahun yang lalu. Bisa saja, status pemuda bagi seseorang itu lambat
laun hilang ditelan oleh usia, namun semangat yang tumbuh dalam diri pemuda
tidak akan pernah hilang. Indonesia butuh sosok saat ini. Sosok pemuda yang
dapat mengantarkan idenya untuk membawa Indonesia kembali ‘merdeka’ dan
mempunyai semangat optimis untuk menggemakan,”IK HEB EEN ELEGANTER
FORMULERING VOOR DE RESOLUTIE!!”
Catatan Akhir
1Daniel
Goleman, Emotional Intelligence
(Kecerdasan Emosional): Mengapa EI lebih penting daripada IQ (selanjutnya
dirujuk sebagai Emotional Intelligence),
Jakarta: Gramedia, 1999, h.331-332 dalam Muhammad Wahyuni Lubis, 9 Jalan Cerdas Emosi dan Cerdas Spiritual,
Jakarta: Hikmah 2006.
0 komentar:
Posting Komentar